Mahasiswa Berpikir Dan Bertindak

Sabtu, 15 Maret 20140 komentar


Mahasiswa mesti mempertegas diri untuk memposisikan pemikirannya oposisi biner terhadap kebatilan, menembus dan melumat batas-batas tirani. Mahasiswa yang dengan kecerdasannya mesti mampu mengabstraksikan fenomena sosial politik ke dalam bahasa intelektual, ilmiah, religius dan merakyat. (Bumi Merah Hitam Caliphate).

melalui propaganda isu yang mereka lemparkan ke publik yang lebih cenderung menjadikan isu seputar Mahasiswa sebagai komoditi profit agar rating penjualan informasinya kian melonjak dengan menegasikan faktor edukatif di dalamnya. Lebih jauh dan kompleks, peran dan fungsi Mahasiswa itu sendiri senantiasa mendapat sorotan. Apalagi saat ini, berkembangnya instans culture alias budaya pop/hedon juga tak luput telah menggerus identitas dan kepribadian Mahasiswa itu sendiri. Pola berpikir Mahasiswa biasanya mengikuti cara pola berpikir kultur dominan di kampus sehingga sudah tidak sedikit yang terhipnotis dan tergiur dengan gemerlapnya budaya ini. Itu sebabnya, seperti yang disinyalir oleh kritikus Lorraine Gamman dan Margaret Marshment yang bersepakat bahwa budaya pop adalah sebuah medan pergulatan ketika mengemukakan bahwa tidaklah cukup bagi kita untuk semata-mata menilai budaya pop sebagai alat Kapitalisme dan patriarki yang menciptakan kesadaran palsu di kalangan banyak orang. budaya pop juga tempat dipertarungkannya makna dan digugatnya ideologi dominan.
Akibatnya, tanpa sadar kita dipaksa patuh dengan logic of capital (logika proses produksi), yakni hal-hal yang dangkal yang cepat ditangkap dan cepat laku. Inilah yang sering dijuluki sebagai instans culture. Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang sedang berlari dan semua yang selalu berlari satu track lebih tinggi ini memang tidak memiliki kesempatan untuk merenungkan lebih dalam. Yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli.
Harus diakui, tak bisa disangsi bahwa perang pemikiran ini, setidaknya sampai saat ini, terkadang dimenangkan oleh oknum-oknum yang ingin agar gerakan Mahasiswa stagnan dan terkungkung dalam kekalahan. Para Thogut (anti kebenaran) menuai untung, kita yang terhempas. Tentunya tidak ingin kondisi ini memberi kita beban yang begitu berat. Jadi, saatnya kita bangkit dari keterpurukan ini. Hidup jadi pecundang tidak saja menyakitkan, tetapi juga terhina total. Itu sebabnya, kita tetap waspada dengan kondisi ini. Waspada dalam pengertian tidak mudah tergoda dengan budaya baru yang kontra dengan prestise agent of Change, Agent Of Social Control dan Iron Stock. Dengan kata lain, pandai memilih dan memilah.

Kita harus dalam menilai budaya tersebut sebagai lawan, bukan yang lain. Sebagai manusia kita adalah satu-satunya mahluk di dunia ini yang memiliki kemampuan berpikir mengenai proses berpikir. Istilah teknisnya adalah metakognisi. Tidak sedikit Mahasiswa yang tidak sadar, tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau bahkan tidak mau tahu bahwa mereka sebenarnya terjerembab ke dalam paradigma pikir yang hedon. Dan oleh sebab itu mereka tidak pernah sadar bahwa seumur hidup mereka telah menjadi budak atau hamba dari pikiran mereka sendiri.

Berpikir Dan Berjiwa Besar

Dengan berpikir dan berjiwa besar, kita akan dengan cepat tiba di tempat yang kita tuju  pencapaian, pendapatan di antara teman,serta respek, keberhasilan, bukan di tentukan oleh besarnya otak seseorang melainkan  oleh besarnya cara berpikir seseorang. Jika berpikir besar menghasilkan begitu banyak keberhasilan, namun peertanyaan nya mengapa tidak semua orang berpikir besar ?
Mukjizat berpikir besar dating dari sumber utama yaitu tokoh yang berpikiran terbaik dan terbesar yang pernah hidup seperti Nabi Daud yang menulis “ Manusia sesungguhnya merupakan apa yang ia pikirkan di dalam hatinya.” Emerson mengatakan bahwa, manusia yang agung adalah mereka yang mengetahui pikiran menguasai dunia. Milton menulis bahwa ,pikiran adalah tempatnya sendiri dan pikiran ini saja dapat membuat surge dari neraka atau membuat neraka dari surga, berpikir besar benar-benar akan mendatangkan mukjizat.
Orang sukses tidak di ukur menurut centimeter atau kekayaan atau gelar akademis,atau latar belakang keluarga. Orang sukses di ukur berdasarkan besar kecilnya cara berpikir mereka. Berapa besar kita berpikir akan menentukan prestasi kita.

Kampus Ilmiah dan Religius

Menurut Al Ghazali, ilmiah (berasal dari bahasa arab ‘ilmy) dimaknai sebagai suatu kebenaran aqly (bersifat akal) yang lebih tinggi sifatnya dari dua tingkat pengetahuan dibawahnya. Dua pengetahuan di bawahnya yaitu pertama adalah pengetahuan taklidy (otoriter, bersifat pedagogis). Tingkat pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang dapat dijelaskan dengan bantuan/pembuktian panca indera. Kampus yang Ilmiah adalah kampus yang dalam segala halnya lebih mengedepankan pemahaman/pengertian yang objektif tentang sesuatu hal yang bersifat logis (dapat diterima oleh akal/rasio/penalaran/pikiran). Sedangkan religious dalam pengertiannya yang lebih progresif dan militan adalah keadaan dimana perjuangan melawan hawa nafsu adalah kelaziman, baik hawa nafsu di luar diri seperti keserakahan dan kebejatan system dan struktur maupun hawa nafsu dalam diri seperti paradigma pikir hedonis dan sebagainya sebagai sebuah antitesa ketidakadilan dan kebatilan yang mesti dilawan dengan Logika, Etika, dan Cinta. Ilmiah dan Religius, tatanan kampus inilah yang berusaha untuk kita realisasikan. Amin
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. Blog Emhond (Sarman Moti) - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Kho Khocez
Proudly powered by Blogger